Prabu Siliwangi yang merupakan maharaja Tatar
Sunda mempunyai beberapa anak dari Kentring Manik Mayang Sunda yang merupakan
anak dari Prabu Susuk Tunggal, yaitu Prabu Sanghyang Surawisesa yang merupakan raja di Pakuan dan Sang Surosowan yang dijadikan adipati di pesisir Banten. Dari Sang Surosowan mempunyai dua orang anak yaitu: Sang Arya Surajaya dan Nhai Kawung Anten. Dalam Babad Cirebon disebutkan ketika Syarif
Hidayattulah baru datang dari Mesir dan singgah di Cirebon menemui Uwa-nya bernama
Pangeran Cakrabuana alias Raden Walang Sungsang
yang juga putra Prabu Siliwangi yang mendirikan kadipaten Pakungwati,
lalu mereka pergi ke Banten untuk menyebarkan agama Islam.
Di Banten Syarif Hidayattulah kemudian menikah dengan Nyai
Kawung Anten yang merupakan anak dari Sang Surosowan, dengan demikian mereka itu adalah sama-sama cucu dari Prabu Siliwangi, meski dari ibu yang berbeda. Dari hasil perkawinan mereka mempunyai anak yang bernama Maulana Hasanudin, yang lahir di tahun 1478 Masehi, yang merupakan penyebar agama Islam di Banten
dan pendiri Kesultanan Banten.
Teks: Yoseph Iskandar
Sementara itu, tentang Pucuk Umun, ada dua Pucuk Umun.
Pucuk
Umun Kerajaan Wahanten Girang adalah Sang Adipati Suranggana. Sedangkan Pucuk
Umun Kerajaan Wahanten Pasisir adalah Sang Adipati Surasowan. Kedua Pucuk Umun
tersebut adalah putera Sri Baduga Maharaja Pajajaran (1482-1521 Masehi), dari
permaisuri Kentring Manik Mayang Sunda. Sang
Adipati Surasowan, mempunyai seorang puteri bernama Kawung Anten, berjodoh
dengan Syarif Hidayatullah, kemudian mempunyai anak laki-laki. Oleh kakeknya
diberi nama Pangeran Sebakingkin, oleh ayahnya diberi nama Hasanuddin. Dari
peristiwa ini, dapat ditarik kesimpulan, bahwa Sang Adipati Surasowan,
sebagaimana ayahnya, sangat toleran terhadap pemeluk agama Islam.
Dari
alur darah ibunda Kawung Anten, Hasanuddin adalah cicitnya Sri Baduga Maharaja
Pajajaran (Prabu Siliwangi). Dari alur darah ayahanda Syarif Hidayatullah,
Hasanuddin pun sama, sebagai cicit Sri Baduga Maharaja. Sebab, Syarif
Hidayatullah, adalah putera Larasantang (Hajjah Syarifah Muda’im) yang berjodoh
dengan Walikota Mesir Syarif Abdullah. Larasantang alias Hajjah Syarifah
Muda’im, adalah puterinya Sri Baduga Maharaja Pajajaran (Prabu Siliwangi) dari
permaisuri Subanglarang (alumni Pondok Quro, Pura Dalem Karawang, pemeluk Islam
mazhab Hanafi).
Larasantang alias Hajjah Syarifah Muda’im adalah neneknya
Hasanuddin. Sedangkan Larasantang adalah adik kandung Pangeran Cakrabuana alias
Haji Abdullah Iman. Pangeran Cakrabuana adalah putera sulung Sri Baduga
Maharaja Pajajaran (Prabu Siliwangi) dari permaisuri Subanglarang, pendiri
Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon. Berdasarkan silsilah keturunan, dari pihak ibu maupun
dari pihak ayah, Hasanuddin memiliki alur darah yang kuat, sebagai salah
seorang Pangeran calon pewaris tahta Kerajaan (Sunda) Pajajaran.
Ketika Pucuk Umun Wahanten Pasisir, Sang Adipati
Surasowan wafat, digantikan oleh puteranya, Sang Arya Surajaya (kakaknya Kawung
Anten, uwanya Hasanuddin). Pada masa ini, posisi Syarif Hidayatullah sudah
menjadi penguasa kedua Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon, menggantikan Pangeran
Cakrabuana, dengan gelar Susuhunan Jati Cirebon (Sunan Gunung Jati).
Kemudian Hasanuddin, meneruskan posisi ayahnya, sebagai
Ulama Besar penyiar Agama Islam di Wahanten Pasisir, bergelar Syeh Maolana
Hasanuddin.
Pucuk Umun Wahanten Girang, Sang Adipati Arya Suranggana,
secara kekerabatan, masih “terhitung kakeknya” Syeh Maolana Hasanuddin. Sang
Adipati Arya Suranggana, adalah Pucuk Umun pertama di Wahanten yang memeluk
agama Islam. Sang Pucuk Umun Wahanten Girang ini, muridnya Syeh Ali Rakhmatullah,
Ulama Islam dari Campa, yang pernah bermukim di Wahanten, sebelum kedatangan
Syeh Syarif Hidayatullah. Oleh Ali Rakhmatullah, Sang Adipati Arya Suranggana
diberi nama gelar Ki Bagus Maolana. Sesungguhnya, berdasarkan fakta sejarah,
dialah tokoh pertama pemeluk agama Islam di bumi Wahanten (Banten).
Pada tahun 1521 Masehi, Sri Baduga Maharaja Pajajaran
(Prabu Siliwangi) wafat, digantikan oleh puteranya, Prabu Sanghiyang
Surawisesa. Ia kakak kandung Pucuk Umun Wahanten Pasisir, Sang Adipati Surasowan.
Sepeninggal tokoh besar Sri Baduga Maharaja, di seluruh wilayah Kerajaan
(Sunda) Pajajaran, terjadi gejolak politik pemerintahan. Sultan Demak (yang berbesan dengan Susuhunan Pakungwati
Cirebon), merasa khawatir oleh kemajuan Kerajaan Wahanten Girang dan Wahanten
Pasisir yang menguasai perairan wilayah barat Laut Jawa, Selat Sunda dan Selat
Malaka. Ditambah pula adanya hubungan bilateral perjanjian dagang antara
Pajajaran-Portugis 21 Agustus 1552.
Untuk melumpuhkan niaga laut Wahanten Pasisir, Sultan
Demak memerintahkan Senopati Fadillah Khan (Falatehan alias Fatahillah alias Ki
Fadil alias Tagaril), untuk memimpin pasukan aliansi Demak-Pakungwati, untuk
menyerang Kerajaan Wahanten Pasisir. Serangan tersebut, didahului oleh Syeh
Maolana Hasanuddin, yang mendapat bantuan dari pasukan Wahanten Girang, atas
perintah Sang Adipati Suranggana alias Ki Bagus Maolana.
Digempur dari sejala arah, akhirnya Keraton Wahanten
Pasisir dapat dikuasai sepenuhnya, dan Sang Adipati Arya Surajaya bersama
kerabat keraton tewas binasa. Kemudian, atas nama Susuhunan Jati Cirebon
(Syarif Hidayatullah), Syeh Maolana Hasanuddin, oleh Panglima Fadillah Khan
diwisuda menjadi Adipati (Bupati) Wahanten Pasisir. Kemudian, atas inisiatif Ki
Bagus Maolana, Kerajaan Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir digabung menjadi
satu, dengan mewisuda Adipati Maolana Hasanuddin sebagai penguasa tunggal
Kerajaan Wahanten (Girang-Pasisir), dengan gelar Panembahan (Ulama merangkap
Umaro). Status Panembahan Maolana Hasanuddin, adalah sebagai raja daerah di
bawah kekuasaan ayahanda Syarif Hidayatullah (Susuhunan Jati Cirebon).
Peristiwa tersebut, berlangsung pada tahun 1526 Masehi.
Untuk memperkuat posisi pemerintahannya, Panembahan
Maolana Hasanuddin mendirikan keraton yang indah dan megah, terletak di jantung
kota di wilayah Wahanten Pasisir (yang sekarang disebut “Banten Lama”). Untuk
mengenang jasa kakeknya, keraton tersebut diberi nama Surasowan. Sebutan untuk
keraton, di kemudian hari, berkembang menjadi sebutan wilayah kerajaan. Hal ini
sejalan dengan kajian epigraphy prasasti tembaga yang berhuruf Arab, yang
dibuat oleh Sultan Haji alias Sultan Abdul Nasr (1683-1687 Masehi), bahwa nama
resmi kerajaan Islam di Banten adalah Negeri Surasowan.
Pada masa pemerintahan Panembahan Maolana Hasanuddin di
Wahanten (Banten), para kongsi dagang Portugis sudah jadi mitra niaga. Menurut
catatan Fernao Mendes Pinto (Jurnalis Portugis), pada masa pemerintahan
Panembahan Maolana Hasanuddin, Sultan Demak pernah meminta bantuan Wahanten
untuk menyerbu Pasuruan. Maka pada tanggal 5 Januari 1546, pasukan Wahanten
beserta 46 orang tentara Portugis, berangkat dari perairan Banten menuju
wilayah timur, bergabung dengan pasukan Sunda Kalapa (Jakarta), Pakuwati
Cirebon dan Demak.
Perlu dicermati, berdasarkan catatan Tome Pires dan
Fernao Mendes Pinto, para niagawan laut Portugis, dalam pelayarannya tidak
menyertakan Missionaris (Pendeta) penyebar agama Kristen. Mereka pedagang
murni, tanpa bekal kemahiran untuk berperan sebagai penyebar agama Kristen.
Pada saat itu, penguasa Kerajaan (Sunda) Pajajaran sudah
beralih ke tangan Prabu Nilakendra (1551-1567 Masehi). Ia penguasa ke-5 di
Kerajaan Pajajaran. Menurut naskah kuno Carita Parahiyangan, Prabu Nilakendra
sudah mencampakkan religi Sunda Pajajaran yang diwariskan oleh leluhurnya. Ia
menganut kepercayaan Tantrayana. Setiap saat, di Keraton Pakuan dimeriahkan
oleh pesta pora. Makan
enak sambil minum-minum air memabukan sebagai penyedap makanan, untuk mengawali
upacara spiritual Tantrayana. Tidak ada ilmu yang disukainya, kecuali perihal
makanan lezat yang sesuai dengan kekayaannya.
Bagi
Sultan Maolana Hasanuddin, sebagai cicit Sri Baduga Maharaja, sebagai pewaris
tahta Kerajaan Pajajaran, melihat keberadaan kota Pakuan seperti itu, merasa
tidak berkenan. Pada tahun 1567 Masehi, Panembahan Maolana Hasanuddin
mengadakan serangan besar-besaran ke jantung ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra
tewas dalam pengungsian.
Syarif Hidayatullah Susuhunan Jati Cirebon (ayahanda
Panembahan Maolana Hasanuddin) wafat pada tanggal 19 September 1568 Masehi.
Untuk menggantikan Syarif Hidayatullah di Keraton Pakungwati Cirebon, terjadi
kemelut, disebabkan anak dan cucunya sebagai pewaris tahta telah meninggal
mendahuluinya. Akhirnya, Senopati Demak Fadillah Khan, diangkat menjadi Sultan
ke-3 Pakungwati Cirebon.
Panembahan Maolana Hasanuddin, tentunya merasa tidak
berkenan. Sebab Fadillah Khan orang Samudra Pasai yang juga warga Kerajaan
Demak. Kekerabatannya dengan Pakungwati Cirebon, hanya disebabkan sebagai
menantu Syarif Hidayatullah. Sesungguhnya, Panembahan Maolana Hasanuddin lebih
berhak atas tahta Pakungwati Cirebon. Oleh sebab itu, Panembahan Maolana
Hasanuddin memproklamirkan negerinya, sebagai Wahanten Mahardhika (Banten
Merdeka), tidak lagi menjadi bawahan Pakungwati Cirebon. Ia sendiri menyatakan
sebagai Sultan Kerajaan Islam Surasowan Wahanten yang pertama.
Sultan Maolana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 Masehi
dalam usia 92 tahun. Digantikan oleh puteranya, Sultan Maolana Yusuf. Pada saat
yang sama, Fadillah Khan wafat, digantikan oleh Panembahan Ratu, sebagai
penguasa ke-4 Pakungwati Cirebon. Menurut catatan Sutjipto, Halwani Michrob,
Pane, Uka Tjandrasasmita, Hoesein Djajadiningrat: Pada masa pemerintahan Sultan
Maolana Yusuf, Kerajaan Islam Surasowan Wahanten (Banten), berkembang pesat.
Strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan kota, keamanan
wilayah, perdagangan dan pertanian.
Sedangkan penguasa di Kerajaan (Sunda) Pajajaran sudah
beralih ke tangan Prabu Ragamulya Suryakancana (1567-1579 Masehi). Raja
terakhir ini sudah tidak tinggal di kota Pakuan (Bogor). Ia memindahkan ibukota
pemerintahannya ke wilayah gunung Pulasari Pandeglang. Ia menjadi rajaresi
tanpa mahkota, berfungsi sebagai raja kecil, hanya bergelar Pucuk Umun
Pulasari.
Setelah 9 tahun menata negerinya, Sultan Maolana Yusuf
bersama pasukan Surasowan Wahanten (Banten), menggempur jantung ibukota Pakuan
(Bogor). Tapi penghuni kota Pakuan sudah menyingkir dan mengungsi. Sultan
Maolana Yusuf hanya memboyong Watugilang sebagai lambang penobatan raja-raja
Pajajaran.
Serangan dilanjutkan ke wilayah pertahanan terakhir sisa
laskar Pajajaran di lereng gunung Pulasari Pandeglang. Dalam pertempuran yang
tidak berimbang, Prabu Ragamulya Suryakancana beserta pengikutnya yang setia,
semua tewas binasa.
Kerajaan (Sunda) Pajajaran lenyap dari muka bumi pada
tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan
tanggal 11 Rabi’ul Awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 Masehi.
Kesimpulan. Peristiwa penaklukan Kerajaan Sunda
Pajajaran, oleh Sultan Maolana Hasanuddin maupun oleh Sultan Maolana Yusuf,
tidak didasari oleh “arogansi” penyebaran agama Islam. Sultan Maolana
Hasanuddin ataupun Sultan Maolana Yusuf, sama-sama memiliki terah dan pewaris
tahta Kesultanan Islam Pakungwati Cirebon, sekaligus pewaris tahta Kerajaan
Pajajaran.
Catatan terakhir. Menurut hasil penelitian antropologis,
etnis Sunda Wiwitan di Mandala Kanekes (Baduy?!), ternyata bukan pelarian dari
kota Pakuan, juga bukan pelarian dari gunung Pulasari, bukan pelarian dari
Kerajaan Pajajaran. Hanya karena Kebesaran dan Kemurahan Allah Yang Maha Kuasa,
mereka sudah ada sebelum kerajaan-kerajaan di bumi Wahanten ini berdiri. Sehingga
di dalam diskusi Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS), tentang “Baduy”
di Gedung Merdeka Bandung, Haji Usep Romli berpendapat, “Kalau begitu, orang
Baduy itu sudah Islami sebelum Islam Nabi Muhammad SAW disebarkan”. Wallohualam
bissawab!***